Tren "Quiet Quitting" Ramai di Dunia Kerja, Apa itu Sebenarnya?

Fenomena quiet quitting sedang ramai diperbincangkan saat ini. Sederhananya, quiet quitting adalah istilah yang digunakan untuk perilaku kerja yang ‘secukupnya’ sesuai dengan kontrak kerja tanpa memberikan effort lebih untuk perusahaan. Atau dengan kata lainkerja sesuai harga.

Quiet quitting sendiri menjadi ramai diperbincangkan setelah viralnya bahasan mengenai ini di sosial media TikTok. Banyak orang menyetujui dan mengikuti tren ini karena dianggap mewakili keresahan mereka yang selama ini merasakan adanya ketidakseimbangan antara beban pekerjaan dengan porsi kehidupan pribadi atau dalam istilah populer dikenal sebagai work-life balance.

Mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi (work-life balance) itu sendiri sebenarnya punya manfaat bagi kesehatan mental para pekerja agar tetap ‘waras’ dan terhindar dari stress berat akibat pekerjaan (burnout).

Meskipun terlihat punya tujuan yang menyehatkan secara mental, tetapi apa sebenarnya dampak quiet quitting bagi pekerja itu sendiri? Yuk kita bahas.

#1. Menurunnya Daya Kolaborasi

Salah satu bentuk quiet quitting adalah bekerja sesuai dengan jam kerja yang sudah ditentukan. Di luar itu, pekerja dengan quiet quitting enggan untuk dihubungi perihal urusan pekerjaan, bahkan juga menarik diri dari acara-acara kantor & obrolan-obrolan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.

Bisa dibayangkan jika pola komunikasi yang terjadi antar rekan kerja seperti ini. Interaksi yang terjadi hanyalah sebatas komunikasi koordinatif saja. Padahal, untuk mencapai peak performance dalam pekerjaan, interaksi yang dibutuhkan adalah interaksi yang kolaboratif antar rekan kerja. Komunikasi kolaboratif juga salah satunya dipengaruhi oleh kedekatan personal atau keakraban sesama rekan kerja.

So, gimana jadinya ya kalau ngobrolnya hanya sebatas formalitas pekerjaan saja? Apakah masih bisa eksploratif dan menumbuhkan daya kolaborasi yang maksimal dalam pekerjaan?

#2 Kehilangan Kesempatan Mengembangkan Diri
Workopolis.com

Mengembangkan diri memang tidak hanya bisa dilakukan di lingkungan kerja saja. Namun dalam konteks karir yang dijalani, ketika seorang pekerja lebih memilih untuk terpaku pada job-desc atau hanya pada tugas tertentu saja, maka secara tidak langsung ia sedang membuat batasan pekerjaan atas dirinya sendiri.

Hal itu tentu akan membuat pekerja tersebut kehilangan kesempatan untuk bereksplorasi mengembangkan dirinya pada banyak hal, karena telah memilih membatasi diri hanya pada pekerjaan inti saja.

#3 Berpotensi Terkena PHK
phk (1)

Setiap pekerja tentu telah menandatangani Surat Kesepakatan Kerja atau dokumen sejenisnya sebagai bentuk pernyataan komitmen secara formal tentang pekerjaan yang akan dijalani antara pihak perusahaan dan pihak pekerja.

Namun dalam situasi tertentu yang mengharuskan perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja, tentu pekerja yang akan terkena dampak adalah pekerja yang secara legalitas kontrak memungkinkan untuk diberhentikan, dan salah satu yang utama adalah pekerja yang dianggap tidak memiliki loyalitas cukup baik bagi perusahaan.

Seperti yang juga sedang ramai saat ini, seiring dengan isu resesi pada tahun 2023 banyak pemutusan hubungan kerjasama dengan para pekerjanya.

Loyalitas adalah aspek yang sangat penting yang seringkali dipertimbangkan oleh manajemen perusahaan. Karena itu dianggap sebagai modal awal bagi perusahaan untuk bisa bekerjasama dalam pekerjaan dalam rangka mencapai tujuan bisnisnya.

Maka bisa dibayangkan jika kualitas kerja yang ditunjukkan hanya seadanya saja tanpa usaha lebih, kira-kira akan dipertahankan ngga ya?


Itu dia beberapa dampak yang akan timbul jika quiet quitting dilakukan.

Memang mendapatkan work-life balance atau keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dengan kehidupan pribadi adalah hal yang penting untuk diperjuangkan. Namun, apakah quiet quitting menjadi pilihan sikap yang tepat untuk meraih kesehatan mental yang baik?