Polemik Tes Intelegensi: Apakah tes ini benar-benar mengukur kecerdasan?

Tes intelegensi adalah salah satu alat tes yang menarik dalam dunia Psikologi. Sejak kemunculannya pada abad ke-20, tes ini telah menjadi topik perdebatan, kontroversi dan penelitian yang terus berkembang. Namun, apakah tes ini benar-benar dapat mengukur kecerdasan?

Tes Intelegensi pertama kali muncul sebagai usaha untuk mengidentifikasi anak-anak yang memerlukan bantuan tambahan di sekolah. Alfred Binet, seorang psikolog Perancis, memperkenalkan Tes Binet-Simon. Tes ini mulanya diciptakan untuk mengukur mental age seseorang yang kemudian menjadi dasar untuk konsep Intelligence Quotient (IQ). Konsep ini mengukur perbandingan antara mental age dan Chronological Age. Penggunaan Tes Binet-Simon kemudian menyebar ke Amerika Serikat, dimana seorang psikolog bernama Lewis Terman memodifikasinya menjadi Stanford-Binet Intelligence Scales. Manfaat utama dari tes ini adalah untuk membantu pendidik dalam mengenali kebutuhan belajar individual anak-anak, sehingga mereka dapat memberikan pendidikan yang sesuai.

Munculnya Tes Intelegensi ini tentunya tidak langsung diterima, beberapa ahli memberikan kritik terhadap tes ini. Dari perspektif positif, tes intelegensi terstandarisasi secara ketat dan banyak memberikan informasi penting tentang kapasitas individu. Hasil tes yang diambil pada pertengahan masa anak dapat memprediksi kesuksesan di sekolah, terutama bagi anak-anak yang memiliki kemampuan verbal yang baik dan hasil ini lebih dapat diandalkan dibandingkan dengan tes pada masa sebelum sekolah. Pada usia 11 tahun, skor IQ dapat memprediksi berbagai aspek seperti harapan hidup yang lebih panjang, kemandirian hidup, dan risiko penyakit demensia.

Namun, menurut Sternberg (2004) memberikan kritik terhadap tes ini yang mengatakan bahwa tes intelegensi bisa meremehkan anak-anak yang menghadapi masalah kesehatan atau dalam kondisi fisik atau mental yang buruk ketika menjalani tes. Kritik yang lebih mendasar menyatakan bahwa tes IQ tidak mampu mengukur kemampuan intelektual yang asli karena sebenarnya tes ini lebih mencerminkan pengetahuan yang telah dimiliki individu daripada kemampuan bawaan. Hal ini disebabkan oleh sulitnya merancang tes yang benar-benar terbebas dari pengaruh pengetahuan sebelumnya.

Pertanyaan terbesar yang masih mengelilingi tes tes intelegensi adalah apakah tes tersebut benar-benar mengukur kecerdasan seseorang. Beberapa ahli berpendapat bahwa tes intelegensi memberikan gambaran yang terlalu sempit dan terbatas kemampuan kognitif individu. Tidak ada tes psikologi yang dapat secara langsung menentukan aspek dinamika manusia. Teori psikologi pun tentunya berkembang dari zaman ke zaman. Dinamika manusia itu kompleks, tidak ada yang mutlak. Sehingga kita harus tetap memperhatikan faktor-faktor lain yang dapat menentukan kecerdasan seseorang. Hal ini didukung oleh teori kecerdasan majemuk oleh Howard Gardner yang menjelaskan bahwa kecerdasan adalah konsep yang lebih kompleks dan terdiri dari berbagai jenis kecerdasan, seperti kecerdasan linguistik, logika-matematis, kinestetik, dan lain-lain. Pandangan ini menekankan keragaman dalam bentuk-bentuk kecerdasan individu yang mungkin tidak selalu diukur dengan baik oleh tes IQ.

Kesimpulan

Tes intelegensi merupakan alat tes yang kontroversial dan sering diperdebatkan dalam dunia Psikologi. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tes intelegensi terus berkembang dan menjadi semakin canggih. Meskipun hasil tes intelegensi dapat memberikan wawasan yang berharga, penting untuk diingat bahwa kecerdasan adalah konsep yang lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diukur dengan tes. Hal yang paling penting adalah bagaimana kita menggunakan hasil tes untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan individu.

Sumber:
Nur’aeni (2012), Tes Psikologi: Tes Intelegensi dan Tes Bakat
Starr, Deary, Lemmon, dan Whalley (2000), Journal Intelligence. The stability of individual differences in mental ability from childhood to old age: Follow-up of the 1932 Scottish mental survey, 49-55.
Yuliani Nurani (2010), Hakikat Pengembangan Kognitif. UMP Purwokerto Press.